Tanjungpandan, Media Center -“Lebih baik nelayan daripada PNS” dengan gaya bertutur khas, Bupati Belitung melontarkan ungkapan ini dihadapan tamu undangan yang hadir pada Peresmian Sentra Kuliner (Senkul) Tanjungpendam, Sabtu (4/5/2019).
Usai meresmikan Senkul, Bupati didampingi Wabup Belitung Isyak Meirobie, Setda MZ Hendra Caya dan Plt menikmat Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung Firdaus Idhamsyah, Direktur BUMD Belitong Mandiri Azual Azwar menikmati makanan olahan hasil laut.
Ucapan Bupati Sahani tak salah jika melihat antusias pengunjung yang datang. Bahkan sebagian pemilik gerai Senkul Tanjungpendam mengaku dagangannya laku keras.
Dibalik suksesnya pedagang, ada produsen. Keduanya saling mendukung karena rantai produksi (supplay chain) tidak akan bergerak tanpa peran keduanya. Namun karena berada di belakang layar produsen kalah populer.
Nelayan pun sama. Ada anggapan bahwa nelayan adalah pemasok yang kurang beruntung, derajat ekonomi mereka lebih rendah bahkan terkesan termarjinalkan.
Sesungguhnya tidak. Kini nelayan bisa bernafas lega. Nelayan kini bisa bekerja dengan tenang di lautan karena ada asuransi kecelakaan kerja. Meskipun mendapat perlindungan, tidak menjamin kelangsungan usaha nelayan.
Rusdi Faisal salah satu dari 10 pedagang makanan di Senkul Tanjungpendam agaknya paham rantai produksi di sektor perikanan. Pelaku usaha binaan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung ini merasakan pentingnya pasokan bahan baku dari nelayan.
Jika pasokan terganggu, harga akan melonjak namun pasar tidak bisa menyesuaikan begitu saja. Kekakuan (rigiditas) pasar ini bisa berujung kerugian di sisi pemasar seperti Rusdi. Karenanya Rusdi menyambut baik jika Pemkab Belitung membuka ruang pemasaran seperti Sentra Kuliner Tanjungpendam ini. Dengan begitu pemasar dan nelayan (produsen) punya pilihan dan supply chain selalu bergerak.
Dengan terciptanya alternatif usaha dan pasar, nelayan bisa diuntungkan karena mereka tidak perlu bergantung pada pemilik usaha tunggal.Terlebih nelayan bisa menjadi simpul (chain link) sekaligus berperan dalam setiap pergerakan rantai produksi.
Sayangnya rantai produksi yang panjang seringkali membuat nelayan terpinggirkan. Sebagai produsen, nelayan ingin bertemu langsung dengan konsumen namun pasar tak selalu mengabulkan keinginan nelayan.
Dengan hadirnya sentral kuliner, muncul optimisme baru. Adalah Topik, rekan Rusdi Faisal yang menjelaskan optimisme lewat sepiring mie cume.
” Mansi (tinta) dari cumi-cumi ini dulunya tidak dimanfaatkan. Lalu kami membuat mie cume.orang tertarik apalagi sudah diberi toping (ditaburkan) kepiting, diatasnya” ujar Topik
Pengunjung cukup mengeluarkan uang Rp. 16 ribu untuk seporsi mie cume, dengan topping kepiting dihargai Rp.28 ribu. ” Harga itu sudah termasuk pajak,” ujar Topik.
Lalu, Topik menjelaskan Gerai Mie Cume ini merupakan usaha patungan dari anggota komunitas. Kenapa mie cume, karena dari survei yang mereka lakukan sebelumnya, mie cukup digemari dibandingkan ayam geprek misalnya.
Alasan lain, mie cumi ini bisa memberikan nilai tambah bagi nelayan. Mansi yang dulunya dibuang bisa memberi keuntungan bagi nelayan. Secara tidak langsung, Topik ingin mengatakan, sebenarnya nelayan bisa meningkatkan pendapatan dengan mengkomodifikasi hasil tangkap mereka. (Fithrorozi/IKP)